Sayidatina Fatimah ra : Penghulu Wanita Syurga

Sunday, August 5, 2007

 
 
Bertemu kembali kita diruangan terhad ini bagi meneruskan usaha menyebarluaskan ilmu serta kalam-kalam berharga insya’Allah. Disini diselitkan sedikit kisah islamik yang amat menarik menjadi pengajaran pedoman untuk kita muslimin muslimat sekalian didalam meneruskan kehidupan yang sementara ini..bacalah dan hayati bersama terutama insan yang bergelar wanita solehah..

Sayidatina Fatimah r.a

Dia besar dalam suasana kesusahan dan keperitan. Ibunya meninggal saat ia masih terlalu muda dan masih memerlukan kasih sayang seorang ibu. Sejak itu, dialah yang mengambil alih tugas menguruskan rumahtangga seperti memasak, mencuci, mengemas rumah dan membereskan berbagai keperluan ayahandanya, Rasulullah SAW.

Di balik kesibukan itu, dia juga adalah seorang yang paling kuat beribadah. Keletihan yang ditanggung akibat seharian bekerja menggantikan tugas ibunya yang telah pergi itu, tidak menghalangi Sayidatina Fatimah dari bermunajat dan beribadah kepada Allah SWT. Malam- malam yang dilalui, diisi dengan tahajud, zikir dan siangnya dengan sholat, puasa, membaca Al Quran dan lain-lain. Setiap hari, suara halusnya mengalunkan irama Al Quran.

Ketika ia berusia 18 tahun, dia dinikahkan dengan pemuda yang sangat miskin hidupnya. Bahkan oleh kemiskinan itu, untuk membayar mas kawin pun, suaminya tidak mampu lalu dibantu oleh Rasulullah SAW.

Setelah nikah, kehidupannya berjalan dalam suasana yang amat sederhana, gigih dan penuh ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Suaminya Sayidina Ali merupakan orang kepercayaan Rasulullah SAW yang diamanahkan untuk berada di barisan depan dalam pasukan kaum muslimin. Dengan demikian, Sayidatina Fatimah pun sering ditinggalkan oleh suaminya yang pergi berperang berbulan-bulan lamanya. Namun dia tetap redha.


Isteri mana yang tidak mengharapkan belaian mesra daripada seorang suami. Namun bagi Sayidatina Fatimah r.a, saat-saat berjauhan dengan suami adalah satu kesempatan berdampingan dengan Allah SWT untuk mencari kasih-Nya, melalui ibadah-ibadah yang ia lakukan. Sepanjang kepergian Sayidina Ali itu, hanya anak-anak yang masih kecil menjadi temannya. Nafkah untuk dirinya dan anak-anaknya Hassan, Hussin, Muhsin, Zainab dan Umi Kalsum diusahakan sendiri. Untuk mendapatkan air, dia berjalan jauh dan mengambil air dari perigi yang 40 hasta dalamnya, di tengah sinar matahari di atas padang pasir. Kadangkala dia harus menahan lapar sepanjang hari. Bahkan ia sering juga berpuasa dan menjadikan tubuhnya kurus hingga menampakkan tulang di dadanya.

Pernah suatu hari, ketika ia sedang asyik bekerja menggiling gandum, Rasulullah datang berkunjung ke rumahnya. Sayidatina Fatimah yang amat keletihan ketika itu lalu meceritakan keperitan hidupnya kepada Rasulullah SAW. Betapa dirinya telah bekerja keras, menyaring tepung, mengangkat air, memasak serta melayani keperluan anak-anak. Dia berharap agar Rasulullah dapat menyampaikan kepada Sayidina Ali, kalau mungkin boleh disediakan untuknya seorang pembantu rumah.

Rasulullah saw merasa kasihan terhadap penanggungan anakandanya itu. Namun baginda amat tahu, sesungguhnya Allah memang menghendaki kesusahan bagi hamba-Nya sewaktu di dunia untuk membeli kesenangan di akhirat. Mereka yang rela bersusah payah dengan ujian di dunia demi mengharapkan keredhaan-Nya, mereka inilah yang mendapat tempat di sisi-Nya.
Lalu, dipujuknya Fatimah ra sambil memberi harapan dengan janji-janji Allah. Baginda mengajarkan zikir, tahmid dan takbir yang apabila diamalkan, segala tanggungan dan bebanan hidup akan terasa ringan.

Ketaatannya kepada Sayidina Ali menyebabkan Allah SWT mengangkat darjatnya. Sayidatina Fatimah tidak pernah mengeluh dengan kekurangan dan kemiskinan keluarga mereka. Ia juga tidak meminta-minta hingga menyusahkan suaminya.

Dalam kondisi itu, kemiskinan tidak menghilangkan semangat Sayidatina Fatimah untuk selalu bersedekah. Dia tidak sanggup untuk kenyang sendirian apabila ada orang lain yang kelaparan. Dia tidak rela hidup senang dikala orang lain menderita. Bahkan dia tidak pernah membiarkan pengemis melangkah dari pintu rumahnya tanpa memberi sesuatu, meskipun dirinya sendiri sering kelaparan. Memang cocok sekali pasangan Sayidina Ali ini kerana Sayidina Ali sendiri lantaran kemurahan hatinya sehingga diberi gelar sebagai 'Bapa kepada janda dan anak yatim' di Madinah.

Namun, pernah suatu hari, Sayidina Fatimah telah menyebabkan Sayidina Ali tersentuh hati dengan kata-katanya. Menyedari kesilapannya, Sayidatina Fatimah segera meminta maaf berulang-ulang kali. Apabila dilihatnya air muka suaminya tidak juga berubah, lalu dengan berlari-lari seperti anak kecil dia mengelilingi Sayidina Ali dan meminta dimaafkan. Melihat aksi Sayidatina Fatimah itu, tersenyumlah Sayidina Ali lantas memaafkan isterinya itu.

"Wahai Fatimah, kalaulah dikala itu engkau mati sedang Ali tidak memaafkanmu, niscaya aku tidak akan menyembahyangkan jenazahmu,". Rasulullah SAW memberi amaran kepada puterinya itu apabila perkara itu sampai ke pengetahuan baginda.

Begitulah kedudukan seorang suami yang ditetapkan Allah SWT sebagai pemimpin bagi seorang isteri. Betapa seorang isteri itu perlu berhati-hati dan sangat lembut saat berhadapan dengan suami. Apa yang dilakukan Sayidina Fatimah itu bukan menggerutu, marah-marah, meninggikan suara, bermasam muka, atau yang lain yang akan menyusahkan Sayidina Ali ra.

Semasa perang Uhud, Sayidatina Fatimah telah ikut dan merawat luka Rasulullah. Dia juga turut bersama ayahandanya, Rasulullah saw, semasa peristiwa penaklukkan Kota Makkah dan ketika Rasulullah mengerjakan 'Haji Wada' pada akhir tahun 11 Hijrah. Dalam perjalanan haji terakhir ini Rasulullah SAW telah jatuh sakit. Sayidatina Fatimah tetap di sisi ayahandanya. Ketika itu Rasulullah membisikkan sesuatu ke telinga Fatimah ra yang membuatnya menangis. Kemudian Nabi SAW membisikkan sesuatu lagi yang membuatkannya tersenyum.

Dia menangis kerana ayahandanya telah membisikkan kepadanya berita kematian baginda. Namun, sewaktu ayahandanya menyatakan bahawa dialah orang pertama yang akan berkumpul dengan baginda di alam baqa', gembiralah hatinya. Sayidatina Fatimah meninggal dunia enam bulan setelah kewafatan Nabi SAW, dalam usia 28 tahun dan dimakamkan di Perkuburan Baqi', Madinah.

Begitu wanita yang utama, agung dan namanya harum tercatat dalam al-Quran. Hidupnya penuh dengan kesulitan. Allah mentakdirkannya seperti itu kerana Dia tahu bahwa dengan kesusahan itu, hamba-Nya akan lebih dekat kepada-Nya. Begitulah juga dengan kehidupan wanita-wanita agung yang lain. Mereka tidak sempat melakukan kesombongan dan membanggakan diri atau bersenang-senang. Sebaliknya, dengan kesusahan dan kesulitan itu mereka dididik oleh Allah untuk sentiasa merasa sabar, redha, takut dengan dosa, tawadhuk (merendah diri), tawakkal dan lain-lain.

Ujian-ujian itulah yang sangat mendidik mereka agar bertaqwa kepada Allah SWT. Justeru, wanita yang berjaya di dunia dan di akhirat adalah wanita yang hatinya dekat dengan Allah, merasa terhibur dalam melakukan ketaatan terhadap-Nya, dan amat bersungguh-sungguh menjauhi larangan-Nya. Meskipun untuk itu diri mereka menderita.


Artikel ini diambil dari : Eramuslim
Diedit Oleh : Ibnurashidi


0 komentar:

Post a Comment

Blogger Muslimin

HarakahDaily.Net

Blogger Muslimat

Tranungkite Online V8

  © Blogger templates Newspaper by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP